Selama ini, kita mengetahui bahwa rumus dari keliling lingkaran adalah C=2πr. Ini berarti, nilai C (circumference atau keliling lingkaran) sangat bergantung kepada nilai r. Semakin besar nilai r, semakin besar pula nilai dari C. Apa betul?
Penulis menjadi ragu ketika penulis melakukan eksperimen sebagai berikut.
Kita semua pasti pernah memiliki koin (mata uang logam) untuk alat transaksi jual beli. Koin itu ada yang berukuran kecil dan ada pula yang berukuran lebih besar.
Kalau kita mencari keliling suatu lingkaran, salah satu cara yang biasa dilakukan adalah dengan menempelkan benang di sekeliling lingkaran tersebut, dan diukur. Cara lainnya adalah dengan menggelindingkan lingkaran itu pada suatu garis tertentu sehingga titik yang semula berimpit dengan alas, kembali berimpit dengan alasnya (setelah satu putaran).
Mari kita lakukan.
Kita letakkan lingkaran pada alas, misalnya meja, dan beri tanda titik impit koin dengan meja tersebut dengan titik asal A. Gelindingkan koin tersebut satu putaran penuh sehingga titik A kembali menyentuh alas kembali, sebut itu dengan titik B. Maka ruas garis AB dapat dinyatakan sebagai keliling koin itu kan?
Sekarang coba teman-teman tempelkan dua koin yang berbeda ukuran. Tempelkan demikian sehingga keduanya lengket, dan konsentris (pusat-pusat kedua koin tersebut berimpit). Setelah itu, coba gelindingkan koin yang lengket ini satu putaran penuh. Maka koin yang kecil akan mengikuti gerakan koin yang besar. Kalau kita beri titik A sebagai titik awal menggelindingkan koin besar, dan titik C, titik yang bersesuaian pada koin kecil, maka ketika titik A kembali menyentuh alas, titik C persis juga berada di posisi yang sama. Berarti kelilingnya kan sama.
LHO? Kok bisa? Padahal kita jelas melihat bahwa jari-jarinya tidak sama. Pastilah kelilingnya juga tidak sama. Dimana letak kesalahannya?
Teman-teman sekalian.
Penulis berharap agar ada teman yang berkenan memberikan pencerahan, terutama kepada penulis, agar tidak terjadi kebingungan seperti ini.
Salam
MAHKOTA DEWA
Rabu, 27 Mei 2009
Senin, 25 Mei 2009
PENDIDIKAN UNTUK KEJAYAAN BANGSA KE DEPAN
Kemarin penulis menjadi salah satu pembicara pada Seminar yang diselenggarakan oleh Yayasan Beasiswa Tunas Bangsa bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya di Mojokerto. Peserta lumayan banyak, kurang lebih sebanyak 500 orang. Penulis bersyukur karena mereka terlihat tertib dan bersemangat ingin belajar. Penulis menyajikan materi tentang "Pembelajaran untuk Kemandirian dan Kejayaan Bangsa Indonesia dalam Menghadapi Era Global".
Pembahasan penulis mulai dengan menyajikan pertanyaan tentang
"Apakah bangsa ini sudah merdeka?".
Penulis sebenarnya ingin mendapatkan jawaban "sudah merdeka", karena pada kenyataannya, kemerdekaan sudah kita proklamasikan sejak tahun 1945. Tetapi, para peserta menyatakan bahwa kita masih belum merdeka. Penulis senang karena dengan ini berarti para peserta tidak akan enak-enak, "ongkang-ongkang" duduk di kursi malas dan menikmati kemerdekaan.
Penulis kemudian mengajak para peserta untuk melihat ciri-ciri bangsa terjajah. Penulis menyatakan bahwa bangsa yang terjajah memiliki dua sifat, yaitu: Intellectual Dependency, dan Servitude of Mind. Dua ciri ini terlihat betul dalam tingkah laku kita sehari-hari.
Penulis kemudian mengupas lebih lanjut bahwa pembelajaran yang kita lakukan selama ini mempunyai kontribusi besar terhadap keterjajahan dan keterpurukan bangsa. Kalau pembelajaran di republik ini tidak berubah dan terus dijalankan seperti yang biasa kita lakukan sekarang, penulis mengemukakan bahwa beberapa puluh tahun ke depan, eksistensi bangsa ini akan musnah. Para peserta terlihat diam, tetapi penulis tidak tahu apa isi hati mereka. Yang jelas, sorot mata sebagian peserta terlihat begitu fokus dengan penjelasan penulis.
Teman-teman sekalian.
Paradigma belajar yang identik dengan menumpuk fakta pengetahuan, dan akuntabilitas pembelajaran yang hanya diukur dengan bukti fisik dokumen administrasi, serta tidak adanya reward dan punishment yang jelas terhadap praktik pembelajaran yang dilakukan di kelas, merupakan beberapa faktor yang penting bagi keterpurukan ini. Selama ini terus dilakukan, kita akan memiliki generasi muda yang lemah. Apakah kita mau menitipkan masa depan bangsa ini kepada generasi muda yang lemah semacam ini? Tentu tidak. Kita harus menciptakan generasi muda yang tangguh, kreatif, dan inovatif, yang mampu bersaing dengan bangsa lain, yang memiliki keunggulan kompetitif atau keunggulan komparatif.
Di bagian akhir, penulis memberikan beberapa saran agar pembelajaran ini mampu membangun kejayaan bangsa ke depan. Teman-teman tertarik untuk mengikuti pikiran penulis? Silahkan unduh power point yang penulis buat di sini, dan selamat mempelajari. Semoga bermanfaat, terutama bagi masa depan bangsa tercinta ini.
Salam
Pembahasan penulis mulai dengan menyajikan pertanyaan tentang
"Apakah bangsa ini sudah merdeka?".
Penulis sebenarnya ingin mendapatkan jawaban "sudah merdeka", karena pada kenyataannya, kemerdekaan sudah kita proklamasikan sejak tahun 1945. Tetapi, para peserta menyatakan bahwa kita masih belum merdeka. Penulis senang karena dengan ini berarti para peserta tidak akan enak-enak, "ongkang-ongkang" duduk di kursi malas dan menikmati kemerdekaan.
Penulis kemudian mengajak para peserta untuk melihat ciri-ciri bangsa terjajah. Penulis menyatakan bahwa bangsa yang terjajah memiliki dua sifat, yaitu: Intellectual Dependency, dan Servitude of Mind. Dua ciri ini terlihat betul dalam tingkah laku kita sehari-hari.
Penulis kemudian mengupas lebih lanjut bahwa pembelajaran yang kita lakukan selama ini mempunyai kontribusi besar terhadap keterjajahan dan keterpurukan bangsa. Kalau pembelajaran di republik ini tidak berubah dan terus dijalankan seperti yang biasa kita lakukan sekarang, penulis mengemukakan bahwa beberapa puluh tahun ke depan, eksistensi bangsa ini akan musnah. Para peserta terlihat diam, tetapi penulis tidak tahu apa isi hati mereka. Yang jelas, sorot mata sebagian peserta terlihat begitu fokus dengan penjelasan penulis.
Teman-teman sekalian.
Paradigma belajar yang identik dengan menumpuk fakta pengetahuan, dan akuntabilitas pembelajaran yang hanya diukur dengan bukti fisik dokumen administrasi, serta tidak adanya reward dan punishment yang jelas terhadap praktik pembelajaran yang dilakukan di kelas, merupakan beberapa faktor yang penting bagi keterpurukan ini. Selama ini terus dilakukan, kita akan memiliki generasi muda yang lemah. Apakah kita mau menitipkan masa depan bangsa ini kepada generasi muda yang lemah semacam ini? Tentu tidak. Kita harus menciptakan generasi muda yang tangguh, kreatif, dan inovatif, yang mampu bersaing dengan bangsa lain, yang memiliki keunggulan kompetitif atau keunggulan komparatif.
Di bagian akhir, penulis memberikan beberapa saran agar pembelajaran ini mampu membangun kejayaan bangsa ke depan. Teman-teman tertarik untuk mengikuti pikiran penulis? Silahkan unduh power point yang penulis buat di sini, dan selamat mempelajari. Semoga bermanfaat, terutama bagi masa depan bangsa tercinta ini.
Salam
Selasa, 12 Mei 2009
SEBUAH IDE PEMBELAJARAN KESEBANGUNAN SEGITIGA
Pembelajaran Matematika yang biasa kita lakukan seringkali terkemas dalam suatu interaksi yang monoton. Guru lebih banyak bicara, dan siswa lebih banyak diam, mendengarkan dan mencatat apa yang dikatakan guru.
Sebenarnya sudah cukup banyak inovasi pembelajaran yang menekankan pentingnya siswa belajar secara aktif. Tetapi, banyak sekali guru yang kesulitan menerapkannya. Entah karena apa, yang jelas banyak guru yang "gelap" dengan ide membelajarkan matematika yang membuat siswa aktif. Mudah-mudahan bukan karena kemalasan.. he he... Maaf.
Nach... beberapa saat yang lalu penulis sempat membuat sebuah ide pembelajaran yang menurut hemat penulis cukup menuntut siswa untuk aktif belajar. Di dalam ide ini, penulis meminta siswa melakukan investigasi, diskusi kelompok, membuat reviu dan refleksi, dan kegiatan siswa aktif lainnya.
Penulis tidak mengetahui apakah ide ini bisa diterapkan dalam satu kali pertemuan atau tidak. Mengapa? Karena yang paling tahu tentang kelas teman-teman, adalah teman-teman sendiri. Walau sudah jadi profesor doktor sekalipun, dia tidak akan dengan serta merta mengenal karakteristik masing-masing kelas. Ide pembelajaran yang ditawarkan bisa saja tidak jalan di kelas itu.
Karena itu, kalau mau diterapkan di kelas teman-teman, penulis mengharapkan agar teman-teman tidak beranggapan bahwa ini adalah ide yang terbaik dan sudah tinggal terapkan. Penulis mempersilahkan teman-teman menyesuaikan saja dengan kondisi kelas yang ada.
Ide ini boleh dilaksanakan dalam satu kali pertemuan saja kemudian diulangi dan dipertajam lagi pada pertemuan berikutnya, atau penggal saja beberapa kegiatan dalam pertemuan pertama, dan lanjutkan sisanya pada pertemuan berikutnya. Bahkan, penulis juga mempersilahkan teman-teman mengadaptasi sesuai kebutuhan. Itu bukan masalah. Yang penting, semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman agar mampu membelajarkan siswa-siswanya dengan optimal.
Nach... ada yang tertarik untuk mengetahuinya.
Kalau teman-teman tertarik, penulis sudah mempersiapkan filenya. Penulis mempersilahkan teman-teman sekalian untuk mengunduh file tersebut di sini. Meskipun mungkin tidak ideal, tetapi semoga tetap bermanfaat.
Salam
Sebenarnya sudah cukup banyak inovasi pembelajaran yang menekankan pentingnya siswa belajar secara aktif. Tetapi, banyak sekali guru yang kesulitan menerapkannya. Entah karena apa, yang jelas banyak guru yang "gelap" dengan ide membelajarkan matematika yang membuat siswa aktif. Mudah-mudahan bukan karena kemalasan.. he he... Maaf.
Nach... beberapa saat yang lalu penulis sempat membuat sebuah ide pembelajaran yang menurut hemat penulis cukup menuntut siswa untuk aktif belajar. Di dalam ide ini, penulis meminta siswa melakukan investigasi, diskusi kelompok, membuat reviu dan refleksi, dan kegiatan siswa aktif lainnya.
Penulis tidak mengetahui apakah ide ini bisa diterapkan dalam satu kali pertemuan atau tidak. Mengapa? Karena yang paling tahu tentang kelas teman-teman, adalah teman-teman sendiri. Walau sudah jadi profesor doktor sekalipun, dia tidak akan dengan serta merta mengenal karakteristik masing-masing kelas. Ide pembelajaran yang ditawarkan bisa saja tidak jalan di kelas itu.
Karena itu, kalau mau diterapkan di kelas teman-teman, penulis mengharapkan agar teman-teman tidak beranggapan bahwa ini adalah ide yang terbaik dan sudah tinggal terapkan. Penulis mempersilahkan teman-teman menyesuaikan saja dengan kondisi kelas yang ada.
Ide ini boleh dilaksanakan dalam satu kali pertemuan saja kemudian diulangi dan dipertajam lagi pada pertemuan berikutnya, atau penggal saja beberapa kegiatan dalam pertemuan pertama, dan lanjutkan sisanya pada pertemuan berikutnya. Bahkan, penulis juga mempersilahkan teman-teman mengadaptasi sesuai kebutuhan. Itu bukan masalah. Yang penting, semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman agar mampu membelajarkan siswa-siswanya dengan optimal.
Nach... ada yang tertarik untuk mengetahuinya.
Kalau teman-teman tertarik, penulis sudah mempersiapkan filenya. Penulis mempersilahkan teman-teman sekalian untuk mengunduh file tersebut di sini. Meskipun mungkin tidak ideal, tetapi semoga tetap bermanfaat.
Salam
Rabu, 06 Mei 2009
KIAT MENGELOLA PEMBELAJARAN KREATIF
Hari Minggu tanggal 3 Mei 2009 kemarin, penulis diminta untuk menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Tunas Bangsa bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya. Selain penulis, pembicara yang satunya adalah Mr. Stuart Weston dari Inggris. Stuart menyajikan tentang mengelola sekolah secara kreatif, sementara penulis membahas tentang mengelola pembelajaran yang kreatif.
Peserta seminar ini sungguh banyak sekali. Menurut panitia, jumlahnya mencapai 1500 orang. Bahkan kalau tidak dihentikan, jumlahnya bisa melebihi hal itu.
Dari satu sisi, penulis senang karena peserta banyak sekali. Dengan begitu, penulis bisa berharap bahwa ide-ide penulis bisa didengarkan oleh banyak orang. Tapi, di sisi yang lain, penulis sebenarnya cukup prihatin. Banyak peserta tidak mendengarkan uraian materi penulis, terutama yang duduk di bagian belakang.
Di samping karena kurang bagusnya sound system, kurang banyaknya layar untuk presentasi materi, sudah dibagikannya materi untuk presentasi, serta berdasarkan hasil berbincang-bincang dengan sebagian peserta yang penulis lakukan setelah acara usai, ternyata kebanyakan peserta hanya menginginkan sertifikatnya saja. Itu diperlukan untuk bisa memperoleh sertifikasi guru profesional.
Sungguh sangat sayang kalau semuanya hanya sebatas untuk itu. Tapi, kayaknya itu juga bukan salah mereka. Sistem sertifikasi yang ada, bahkan hampir semua kebijakan pendidikan, lebih menekankan kepada bukti dokumen administratif semata. Di beberapa sekolah, guru banyak yang membuat RPP hanya untuk sekedar lolos keperluan administrasi. RPP tersebut banyak yang hasil copy and paste dari RPP orang lain, dan di kelas RPP tersebut tidak digubris. Mudah-mudahan ini tidak terjadi pada para pembaca blog ini.
Anyway ...
Betapapun, penulis tetap ingin berbagi segala ide yang penulis punyai ... termasuk ide yang penulis sampaikan dalam seminar tersebut... Karena itu, meskipun teman-teman tidak mengikuti seminar, jangan khawatir... Penulis mempersilahkan mengunduh tulisan tersebut di sini. Silahkan dipelajari dan semoga bermanfaat.
Salam
Peserta seminar ini sungguh banyak sekali. Menurut panitia, jumlahnya mencapai 1500 orang. Bahkan kalau tidak dihentikan, jumlahnya bisa melebihi hal itu.
Dari satu sisi, penulis senang karena peserta banyak sekali. Dengan begitu, penulis bisa berharap bahwa ide-ide penulis bisa didengarkan oleh banyak orang. Tapi, di sisi yang lain, penulis sebenarnya cukup prihatin. Banyak peserta tidak mendengarkan uraian materi penulis, terutama yang duduk di bagian belakang.
Di samping karena kurang bagusnya sound system, kurang banyaknya layar untuk presentasi materi, sudah dibagikannya materi untuk presentasi, serta berdasarkan hasil berbincang-bincang dengan sebagian peserta yang penulis lakukan setelah acara usai, ternyata kebanyakan peserta hanya menginginkan sertifikatnya saja. Itu diperlukan untuk bisa memperoleh sertifikasi guru profesional.
Sungguh sangat sayang kalau semuanya hanya sebatas untuk itu. Tapi, kayaknya itu juga bukan salah mereka. Sistem sertifikasi yang ada, bahkan hampir semua kebijakan pendidikan, lebih menekankan kepada bukti dokumen administratif semata. Di beberapa sekolah, guru banyak yang membuat RPP hanya untuk sekedar lolos keperluan administrasi. RPP tersebut banyak yang hasil copy and paste dari RPP orang lain, dan di kelas RPP tersebut tidak digubris. Mudah-mudahan ini tidak terjadi pada para pembaca blog ini.
Anyway ...
Betapapun, penulis tetap ingin berbagi segala ide yang penulis punyai ... termasuk ide yang penulis sampaikan dalam seminar tersebut... Karena itu, meskipun teman-teman tidak mengikuti seminar, jangan khawatir... Penulis mempersilahkan mengunduh tulisan tersebut di sini. Silahkan dipelajari dan semoga bermanfaat.
Salam
Langganan:
Postingan (Atom)